Minggu, 01 Februari 2009

berternak ikan patin

Beternak Ikan Patin dalam Keramba

UJANG berjalan di atas keramba-keramba bambu yang mengapung di pinggiran sungai. Dengan cekatan, lelaki berbadan kekar berusia 45 tahun itu membuka pintu kecil di atas keramba, lalu menaburkan butiran-butiran pelet. Ribuan ikan patin dalam keramba langsung berebutan menyambar makanan itu. Air berkecipak, sebagian muncrat ke atas.

Ujang tambah bersemangat. Dia terus menaburkan pelet sambil memandangi ikan-ikan yang berebut makanan dengan wajah berseri-seri. Terik matahari yang menerpa punggungnya yang terbuka seakan tak dirasakan. Dia asyik dengan kegiatan rutinnya itu. "Saya selalu menunggu-nunggu saat memberi makan ikan patin. Hati gembira melihat ikan-ikan ini tumbuh sehat dan lincah," kata Ujang sambil tersenyum, Selasa (1/2) siang.

Ujang memiliki 12 keramba apung yang ditambatkan di pinggiran Sungai Ogan di Desa Tanjung Raja, Kecamatan Tanjung Raja, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel). Sebanyak 12 keramba, yang rata-rata berukuran sekitar dua meter kali tiga meter, itu digunakan untuk memelihara 32.000 ikan patin. Saat ini ribuan ikan tersebut sudah berusia sekitar tiga bulan. Sekitar lima bulan lagi ikan-ikan milik Ujang sudah bisa dipanen.

Menurut Abdul Roni (61), peternak ikan patin lainnya, budidaya ikan patin dalam keramba di pinggiran Sungai Ogan di daerah Tanjung Raja dimulai sejak awal 1990-an. Mula-mula beberapa warga berusaha mencari pendapatan tambahan dengan memelihara ikan patin dalam keramba. Ternyata usaha sampingan itu cukup menguntungkan sehingga warga lain tertarik dan ikut membuat keramba bambu.

Saat ini setidaknya terdapat sekitar 200 keramba apung yang dikelola oleh 50 warga Tanjung Raja. Dilihat dari atas Jembatan Tanjung Raja, sekitar 50 kilometer arah selatan Kota Palembang, keramba-keramba itu tampak berjajar di pinggiran sungai.

Budidaya ikan patin dimulai dengan membeli benih berusia sebulan, yang tubuhnya sebesar batang korek api. Sebagian besar benih didatangkan dari Bogor, Jawa Barat, dengan harga sekitar Rp 250 per ekor. Setelah delapan bulan dipelihara ikan rata-rata berbobot satu kilogram (kg) per ekor dan siap dipanen.

Saat musim panen, ikan patin dijual Rp 7.000 per kg kepada pedagang perantara. Ikan biasanya dibawa ke pasar-pasar tradisional di Sumsel, Jambi, atau Lampung. Di tangan konsumen, harganya menjadi Rp 8.000-Rp 10.000 per kg. Sebagian lagi disetor ke berbagai rumah makan di daerah Sumsel.

Sejumlah rumah makan sangat mengandalkan ikan patin keramba produksi Tanjung Raja. Bila dibandingkan yang dibesarkan dalam kolam, ikan patin keramba lebih gemuk dan warnanya lebih jernih. "Dengan produksi ikan patin yang berkualitas, kami tidak pernah kesulitan soal pemasaran. Bahkan kami sering kehabisan persediaan," kata Ajang (29), yang memiliki tiga keramba.

DI rumah makan, ikan patin banyak disajikan dengan nama pindang patin. Menu ini berisi sepotong ikan patin dalam kuah sayur berbumbu manis asam. Sayur terasa segar dan sedap karena dimasak dengan daun kemangi, dan ditambah dengan potongan buah nanas. Sebagian besar masyarakat di sekitar Palembang cukup menggemari menu khas ini. Demikian pula para pendatang yang berkunjung ke kota itu.

"Rata-rata kami bisa menjual 50 porsi ikan patin setiap hari. Kalau pas ramai, porsi yang terjual bisa lebih banyak lagi," kata Dina (16), pelayan Rumah Makan Pondok Pindang Rizki, di depan Kampus Universitas Sriwijaya di Indralaya, Ogan Ilir.

Hanya saja, pengembangan budidaya ikan patin di Tanjung Raja masih terkendala oleh harga pelet yang terus melambung. Pada tahun 1994 harga pelet masih Rp 15.000 per karung berisi 30 kg. Sejak tahun 2004 harganya melonjak menjadi Rp 140.000 per karung. Para peternak juga harus menghadapi banjir hampir setiap tahun. Saat Sungai Ogan meluap berbagai jenis limbah ikut masuk ke dalam keramba sehingga banyak ikan yang mati. Para peternak pun merugi hingga jutaan rupiah. (ilham khoiri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar