Minggu, 18 Januari 2009

ikan,jenis,dan manfaatnya

Ikan Mas (Cyprinus caprio L.) sebagai Early Warning System pencemaran lingkungan.

In wawasan on Juli 24, 2008 at 10:27 am

Oleh : @_pararaja

Pembangunan yang banyak dilaksanakan secara besar-besaran di Indonesia dapat membawa dampak negatif terhadap lingkungan hidup

Resiko yang diakibatkan oleh pencemaran perairan terhadap manusia sampai saat ini cukup memprihatinkan. Diantaranya adalah resiko akibat penurunan mutu kualitas perairan. Menurut kasat mata, air yang menjadi media hidup biota dan kebutuhan manusia tidak layak, tetapi bila dilakukan perbandingan dengan berbagai indikator kondisinya menjadi layak.

Air merupakan subtrat yang paling parah akibat pencemaran. Berbagai jenis pencemar baik yang berasal dari sumber domestik (rumah-tangga, perkampungan, kota, pasar dan sebagainya) maupun sumber non-domestik (pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan serta sumber-sumber lain) banyak memasuki badan air. Secara langsung ataupun tidak langsung pencemar tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas air, baik untuk keperluan air minum, air industri ataupun keperluan lainnya.

Akibat semakin tingginya kadar buangan domestik memasuki badan air di negara yang sedang berkembang, maka tidak mengherankan kalau berbagai jenis penyakit, secara epidemik ataupun endemik berjangkit dan merupakan masalah rutin dimana-mana

Di Indonesia misalnya, setiap tahun lebih dari 3.500.000 anak-anak dibawah umur 3 tahun di serang oleh berbagai jenis penyakit perut dengan jumlah kematian sekitar 105.000 orang. Jumlah tersebut akan meningkat lebih banyak pada daerah/tempat yang keadaan sanitasi lingkungannya berada pada tingkat rendah.

Dengan fakta demikian, dimana pencemaran terhadap lingkungan (khususnya air) setiap tahun akan semakin bertambah. Hal ini akan mempersulit industri yang memanfaat kan air sungai sebagai bahan baku.

Untuk menghindari kerusakan terhadap ekosistem perairan sebagai akibat dari pencemaran, haruslah dilakukan pemantauan atau monitoring, baik monitoring secara fisika, kimia maupun biologi (Amnan, 1994). Pemantauan pencemaran air sebenarnya menyangkut kehidupan di air. Bila air tercemar maka kehidupan organisme di air terganggu. Analisis pencemaran aor secara kimia dan fisika berusaha menilai apakah kondisi fisika dan kimia air itu.

Pemantauan pencemaran di air dapat dilakukan secara biologi dengan hewan air, dapat dilakukan dengan uji hayati atau Bioassay, metabolisme individu, dinamika populasi dan struktur populasi. Dari efek sublethal dapat diamati tentang biokimia, fisiologi, tingkah laku atau tingkat siklus hidup dari organisme tersebut. Pengamatan atau monitoring terhadap efek sub lethal sangat penting dan merupakan gejala awal terhadap perubahan faal akibat keracunan sebelum terjadinya kematian, sehingga akibat buruk selanjutnya bahkan kerusakan ekosistem dapat dihindari atau dicegah (Mason, 1980). Dengan kata lain, dapat digunakan sebagai Early Warning System pada industri yang berbahan baku air sungai

Untuk menaksir efek toksikologi dari beberapa polutan kimia dalam air dapat diuji dengan menggunakan spesies yang mewakili lingkungan yang ada di perairan tersebut. Ikan dapat menunjukan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Reaksi ini dapat ditunjukan dalam percobaan di laboratorium, dimana terjadi perubahan aktivitas pernapasan yang besarnya perubahan diukur atas dasar irama membuka dan menutupnya rongga ”Buccal” dan over kulum (Mark, 1981).

Berdasarkan hasil penelitian bahwa konsentrasi limbah, suhu, DO, pH, salinitas dan alkalinitas berpengaruh nyata terhadap mortalitas (kematian) ikan mas (Cyprinus caprio L.). Hal ini disebabkan, jika ditinjau secara kimia bahwa kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan dipengaruhi oleh pH, DO, BOD, suhu, salinitas, dan alkalinitas (Rasyad, 1990).

Tingkat pencemaran sungai dapat diketahui dengan suatu indeks pencemaran (IP) yang merupakan perbandingan nilai konsentrasi zat pencemar dengan nilai baku mutu yang ditetapkan.

Kriteria status pencemaran berdasarkan perhitungan indeks pencemaran yang dihitung untuk setiap segmen sungai dan terhadap setiap baku mutu kelas sungai (PP 82 2001).

Tabel Kriteria Indek Pencemaran Air

Indek Pencemaran (IP)

Kondisi

Kelas Mutu Sungai

0 ≤ IP ≤ 1

Memenuhi baku mutu (baik)

I

1 <>

Cemar ringan

II

5 <>

Cemar sedang

III

IP > 10

Cemar berat

IV

Sumber : Kepmen LH No 115, 2003

Toksisitas yaitu kemampuan suatu bahan yang dapat menyebabkan kerusakan organ – organ tertentu pada tubuh, baik bagian dalam maupun permukaan tubuh hewan (Durham 1975).

Penentuan toksisitas dapat ditentukan dengan melakukan bio assay (uji hayati). Menurut Rand (1980), toksisitas terhadap organisme akuatik umumnya dinyatakan sebagai konsentrasi letal (Lethal Consentration), yang menunjukan prosentase mortalitas hewan uji pada konsentrasi yang diberikan.

Toksisitas suatu bahan kimia terhadap ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu, kadar oksigen terlarut, derajat keasaman, spesies, umur dan derajat aklimatisasi ikan serta efek-efek langsung bahan pencemar terhadap sifat air (Arianti 2002). Sedangkan toksisitas akut yaitu daya racun suatu senyawa yang dapat mengakibatkan kematian dalam waktu singkat.

Pada lingkungan perairan, uji toksisitas akut dilaksanakan untuk mengestimasi konsentrasi medium letal (LC50) suatu bahan kimia dalam air, yaitu perkiraan konsentrasi bahan kimia yang menghasilkan efek mortalitas 50 % populasi jumlah hewan uji yang diuji pada kondisis tetap.

Dengan penetapan nilai LC akut dan LC50 untuk parameter-parameter dalam air, maka ikan Mas dapat digunakan sebagai Early Warning System dalam pemantauan kulaitas air baku.

Early Warning System ini salah satunya secara biologis dengan menggunakan ikan Mas (Cyprinus caprio L.). Ikan Mas layak digunakan sebagai indicator biologis karena memenuhi syarat yang ditetapkan American Public Health Association (APHA), antara lain :

1. Organisme harus sensitf terhadap material racun dan perubahan lingkungan.

2. Penyebarannya luas dan mudah didapat dalam jumlah yang banyak.

3. Mempunyai arti ekonomis, rekreasi dan kepentingan ekologi baik secara daerah maupun nasional.

4. Mudah dipelihara dalam laboratorium.

5. Mempunyai kondisi yang baik, bebas dari penyakit dan parasit.

6. Sesuai untuk kepentingan uji hayati

Klasifikasi Ikan Mas menurut saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Filum : Chodata

Kelas : Pisces

Sub Kelas : Teleostei

Ordo : Ostariophysi

Sub Ordo : Cyprinoidea

Famili : Cyprinidea

Genus : Cyprinus

Spesies : Cyprinus caprio L

Ikan Mas adalah salah satu jenis ikan peliharaan yang penting sejak dahulu hingga sekarang. Daerah yang sesuai untuk mengusahakan pemeliharaan ikan ini yaitu daerah yang berada antara 150 – 600 meter di atas permukaan laut, pH perairan berkisar antara 7-8 dan suhu optimum 20-25 oC. Ikan Mas hidup di tempat-tempat yang dangkal dengan arus air yang tidak deras, baik di sungai danau maupun di genangan air lainnya ( Asmawi, 1986).

Ikan Mas mempunyai ciri-ciri badan memanjang, agak pipih, lipatan mulut dengan bibir yang halus, dua pasang kumis (babels), ukuran dan warna badan sangat beragam (Sumantadinata, 1983).

Ikan Mas dikenal sebagai ikan pemakan segala (omnivora) yang antaralain memakan serangga kecil, siput cacing, sampah dapur, potongan ikan, dan lain-lain (Asmawi,1986).

Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) dapat digunakan sebagai hewan uji hayati karena sangat peka terhadap perubahan lingkungan (Brinley cit. Sudarmadi, 1993). Di Indonesia ikan yang termasuk famili Cyprinidae ini termasuk ikan yang populer dan paling banyak dipelihara rakyat, serta mempunyai nilai ekonomis. Ikan mas sangat peka terhadap faktor lingkungan pada umur lebih kurang tiga bulan dengan ukuran 8 – 12 cm. Disamping itu ikan mas di kolam biasa (Stagnan water) kecepatan tumbuh 3 cm setiap bulannya (Arsyad dan Hadirini cit. Sudarmadi, 1993).

Hal – hal yang dapat mempengaruhi ikan mas (Cyprinus carpio L.) dalam fungsinya sebagai Early Warning System adalah sebagai berikut :

- Suhu

Suhu mempengaruhi aktifitas ikan, seperti pernapasan, pertumbuhan dan reproduksi (Huet, 1970 dalam Lelono, 1986). Suhu air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dan laju konsumsi oksigen hewan air. Pada perairan umum semakin bertambah kedalaman air maka suhu semakin semakin menurun (Ahmad dkk, 1998).

- pH

Toksisitas suatu senyawa kimia dipengaruhi oleh derajat keasaman suatu media. Nilai pH penting untuk menentukan nilai guna suatu perairan. Batas toleransi organisme air terhadap pH adalah bervariasi tergantung suhu, kadar oksigen terlarut, adanya ion dan kation, serta siklus hidup organisme tersebut (Pescond, 1973). Sedang titik batsas kematian organisme air tehadap pH adalah pH 4 dan pH 11. (Caborese, 1969 dalam Boyd, 1988).

Tabel Pengaruh kisaran pH terhadap ikan

Kisaran pH

Pengaruh Terhadap Ikan

<>

Titik kematian pada kondisi asam

4 - 5

Tidak bereproduksi

5 - 6.5

Pertumbuhan lambat

6.5 - 9

Sesuai untuk reproduksi

> 11

Titik kematian pada kondisi basa

Sumber : Boyd (1990)

- DO (Dissolved Oxigen)

DO merupakan perubahan mutu air paling penting bagi organisme air, pada konsentrasi lebih rendah dari 50% konsentrasi jenuh, tekanan parsial oksigen dalam air kurang kuat untuk mempenetrasi lamela, akibatnya ikan akan mati lemas (Ahmad dkk,1998). Kandungan DO di kolam tergantung pada suhu, banyaknya bahan organik, dan banyaknya vegetasi akuatik (Huet, 1970 dalam Lelono, 1986).

- Amoniak (NH3-N)

Sumber utama amoniak adalah bahan organik dalam bentuk sisa pakan, kotoran ikan, maupun dalam bentuk plankton dan bahan organik tersuspensi. Pembusukan bahan organik terutama yang banyak mengandung protein menghasilkan amonium (NH4+) dan amoniak.

Bila proses dilanjutkan dari proses pembusukan (nitrifikasi) tidak berjalan lancar maka terjadi penumpukan amoniak sampai pada konentrasi yang membahayakan bagi ikan. Didalam perairan NH3 terdapat dalam bentuk terionisasi dan tidak terionisasi (Boyd, 1982). Amoniak tidak terionisasi toksik terhadap ikan dan ketoksikannya meningkat ketika kandungan DO rendah (Markens dan Downing, 1958 dalam Boyd, 1990).

- Karbondioksida (CO2)

Karbondioksida bersumber dari hasil proses fotosintesis atau difusi dari udara dan hasil dari proses respirasi organisme akuatik. Di dasar perairan karbondioksida juga dihasilkan oleh proses dekomposisi. Karbondioksida sebesar 10 mg/L atau lebih masih dapat ditolerir oleh ikan bila kandungan oksigen di perairan cukup tinggi. Kebanyakan spesies biota akuatik masih dapat hidup pada perairan yang memiliki kandungan karbondioksida bebas lebih dari 60 mg/L).

Ketika kandungan oksigen perairan rendah, proses fotosintesis berjalan lambat, sehingga karbondioksida banyak dilepaskan oleh proses respirasi biota akuatik dan yang tidak terserap oleh phytoplankton (Boyd, 1982).